Minggu, 13 Juni 2010

MODERNISASI DESA PINGGIRKAN PETANI

Kemiskinan, secara jelasamerupakan warisan feodalisme dan kolonialisme yang diperparah kondisinya oleh eksploitasi di zaman Orde Baru pada sisi tersebut, kemiskinan terlihat sebagai bagian dari pratik ketidakadilan. Di sisi lain juga terlihat produktivitas pertanian nasional tidak membaik secara signifikan. Pertanian yang menjadi tumpuan hidup masyarakat memang pernah mencapai jayanya pada 1984-1985. Namun, pada waktu itu nilai tukar petani justru berada pada titik yang terendah. Berbagai upaya dari intensifikasi hingga ekstensifikasi di lapangan pertanian tidak menunjukkan tanda keberhasilan. Malah bangsa Indonesia didera praktik perdagangan gelap maupun perdagangan di bawah naungan kebijakan negara yang memukul rakyat miskin di pedesaan.
Modernisasi di pedesaan yang tidak diawali dengan penataan ulang struktur agrarian, menjadi jalan meminggirkan kaum petani. Bahkan kaum perempuan di pedesaan juga tersingkir akibat lapangan kerja yang diserobot teknologi baru. Ditambahkan, gerakan modernisasi yang digenjot sejak 1970-an tidak disertai penyiapan pondasi ekonomi yang kokoh hanya mengandalkan rezeki minyak, diakui pernah membuat Indonesia muncul sebagai salah satu macan Asia. Diibaratkan, belum lagi sang macan mengaum keras telah tumbang dan membawa masalah yang sangat kompleks. “Ekonomi di Indonesia tidak tumbuh oleh topangan industrialisasi yang kokoh. Pabrik-pabrik yang bermunculan merupakan jenis pabrik manufaktur yang pada umumnya dapat dengan mudah berpindah sesuai dengan situasi ekonomi dan politik,” jelasnya.
Pada kondisi seperti ini, industri menampilkan wajah yang tidak mendidik dan cenderung melakukan deskilling, melalui teknologi dan berjalan. Mobilitas pekerja yang tinggi, tambahnya, tidak diikuti peningkatan keterampilan. Sehingga ketika usia mereka bertambah, akan muncul ancaman serius. “Karena begitu kerja mereka menurun akibat usia pabrik tidak dapat lagi menerima. Sementara keahlian dari pabrik tidak terwariskan. Karena meraka hanya tukang gunting, tukang lem, tukang lipat atau tukang pasang belaka.”
Maka indutrialisasi tidak cenderung meningkatkan kualitas kemampuan tenaga kerja, malah sebaliknya. Pada sisi yang lain, secara keseluruhan kualitas angkatan kerja juga tidak dalam kondisi yang baik. “Maka tidak heran jika untuk menutupi kebutuhan hidup material, mereka terpaksa melakukan apa saja termasuk menjadi TKI/TKW di negara orang. Bukan sebagai tenaga ahli, melainkan hanya menjadi buruh kasar atau pekerja rumahan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar